PROBLEMATIKA PERBANKAN SYARIAH
Jika dilihat dalam prakteknya ternyata banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan bank syariah terutama kaitannya dengan penerapan sistem perbankan yang baru dan mempunyai perbedaan yang sangat prinsip dari sistem keuntungan yang dominan dan telah berkembang pesat saat ini. Permasalahan ini bersifat operasional perbankan maupun aspek dari lingkungan makro. Di antara beberapa tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan Bank Syariah di Indonesia, adalah:
1. Pembiayaan Modal Kerja Syariah. Modal merupakan
permasalahan kursial senantiasa dihadapi merintis usaha, setiap gagasan atau
pun rencana mendirikan bank syariah tidak dapat terwujud akibat tidak adanya
modal signifikan untuk pendiriannya, walaupun dari sisi niat ataupun keinginan
para pendiri relatif sangat kuat. Permasalahan utama pemenuhan permodalan
antara lain disebabkan; pertama, keraguan
pemodal akan prospek dan masa depan keberhasilan bank syariah, sehingga kuatir
dana yang ditempatkan hilang; kedua, perhitungan bisnis pemodal yang
tidak dilandasai rasa nilai ubudiyah sehingga terkesan semata-mata hanya
mencari keuntungan duniawi dan merasa keberatan jika harus menginvestasikan
sebagian dananya di bank syariah sebagai modal; ketiga, regulasi Bank
Indonesia dalam penempatan modal yang relatif tinggi.
2. Regulasi Dunia Perbankan. Seperti telah diketahui fungsi
umum daripada undang-undang melayani masyarakat dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, sebagai azaz berlakunya dalam arti material,
undang-undang merupakan sarana semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu. Regulasi perbankan yang
berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional bank syariah, mengingat
adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional bank syariah dengan
bank konvensional. Regulasi perbankan yang ada kiranya masih perlu disesuaikan
agar memenuhi ketentuan syariah agar bank syariah dapat beroperasi secara
relatif dan efisien serta mampu bersaing, antara lain; pertama, instrument
yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas; kedua, instrument
moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas
bank sentral; ketiga, standarisasi akuntansi, audit dan sistem
pelaporan; keempat, regulasi yang mengatur mengenai prinsip
kehati-hatian. Ketentuan keempat regulasi ini diperlukan agar bank syariah
dapat menjadi elemen terpenting dari sistem moneter yang dapat menjalankan
fungsinya secara baik, mampu berkembang dan bersaing.
3. Minimnya Sumber Daya Manusia. Maraknya bank syariah di
Indonesia tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM) yang memamadai,
terutama latar belakang disiplin ilmu perbankan syariah sehingga
perkembangannya menjadi lambat. Sistem bank syariah memang masih belum lama
dikenal di Indonesia, disamping itu lembaga pendidikan dan pelatihan masih
terbatas, sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang perbankan syariah
baik dari sisi bank pelaksana maupun bank sentral (pengawas dan peneliti bank).
Pengembangan SDM sangat dibutuhkan karena keberhasilan pengembangan bank
syariah pada level mikro sangat ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan
serta keterampilan mengelola bank. SDM-nya memerlukan persyaratan pengetahuan general
di bidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syariah dalam
praktek perbankan serta mempunyai komitmen untuk menerapkannya secara
konsistensi (istiqamah).
4. Tingkat Pemahaman dan Kepedualian Ummat. Pemahaman dan
kepedulian sebagian besar umat mengenai sistem dan prinsip bankan syariah belum
tepat, bahkan ada di antara ulama dan cendekiawan muslim sendiri masih belum
ada kata sepakat untuk mendukung eksistensi bank syariah. Bahkan masih ada
kalangan ulama belum ada ketegasan pendapat terhadap eksistensi bank syariah,
sehingga terasa kurang tegas, hal tersebut disebabkan; pertama, kurang
komprehensifnya informasi yang sampai kepada para ulama dan cendekiawan tentang
bahaya dan dampak destruktif sistem bunga terutama pada saat krisis moneter dan
ekonomi dilanda kelesuan; kedua, belum berkembangluasnya Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) sehingga ulama dalam posisi sulit untuk melarang
transaksi keuangan konvensional yang selama ini berjalan dan berkembang luas
serta yang sudah mendarah daging dalam masyarakat; ketiga, belum
dipahaminya operasional bank syariah secara mendalam dan kaffah; keempat,
kejumudan dan kemalasan intelektual yang cenderung pragmatis sehingga ada
anggapan sistem bunga yang berlaku saat ini sudah berjalan atau tidak
bertentangan dengan ketentuan syariah. Padahal sejarah mengenal ulama bukan
semata sosok berilmu, melainkan juga sebagai penggerak dan motivator
masyarakat. Para ulama yang berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki
fungsi dan peran yang amat besar dalam perbankan syariah yaitu sebagai Dewan
Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional. Minimnya pemahaman terhadap bankan
syariah barangkali disebabkan karena sistem dan prinsip operasional relatif
baru dikenal dibandingkan dengan sistem bunga, dan pengembangannya masih dalam
tahap awal jika dibandingkan dengan bank konvensional telah terlebih dahulu
mengambil posisi di hati masyarakat, serta keengganan bagi pengguna jasa perbankan
konvensional untuk berpindah ke bank syariah disebabkan hilangnya kesempatan
untuk mendapatkan penghasilan tetap dari bunga.
5. Sosialisasi Setengah Hati. Sosialisasi yang telah
dilakukan dalam rangka menginformasikan secara paripurna dan besar mengenai
kegiatan usaha bank syariah belum dilakukan semaksimal mungkin sehingga terasa
dapat dikatakan setengah hati. Sementara tanggungjawab sosialisasi tidak hanya
dipundak para bankir syariah sebagai pelaksana operasional bank sehari-hari,
namun tanggungjawab itu tertumpu kepada semua elemen umat baik secara individu,
jamaah maupun institusi. Dengan kata lain bagi yang memiliki kemampuan
dan akses yang besar dalam penyebarluasan informasi harus fokus, yang barang
kali selama ini masyarakat belum tahu ataupun belum memahami secara detail apa
dan bagaimana keberadaan dan operasional bank syariah walaupun dari kaca mata
fiqh sangat faham. Cakupan sosialisasi tentu tidak sekedar memperkenalkan
eksistensi bank syariah di suatu tempat, tetapi juga memperkenalkan mekanisme,
produk dan instrumen-instrumen keuangan bank syariah kepada masyarakat.
6. Piranti Moneter Ribawi. Piranti moneter yang pada saat
ini masih mengacu pada sistem bunga (riba) sehingga belum bisa memenuhi dan
mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syariah, seperti kelebihan/kekurangan
dana yang terjadi pada bank syariah ataupun pasar uang antar bank syariah
dengan tetap memperhatikan prinsip syariah. Bank Indonesia selaku penentu
kebijakan perbankan harus menyiapkan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip
syariah.
7. Pelayanan Publik. Perlu dicatat dunia perbankan
senantiasa tidak terlepas pada masalah persaingan, baik dari sisi rate /
margin yang diberikan maupun pelayanan. Dari hasil survei lapangan
membuktikan kualitas pelayanan merupakan peringkat pertama kenapa masyarakat
memilih bergabung dengan suatu bank. Ternyata bank konvensional berlomba-lomba
untuk senantiasa memperhatikan dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah, tidak
telepas dalam hal ini tentunya juga bagi bank syariah yang dalam operasionalnya
wajib memberikan jasa tentunya unsur pelayanan yang baik dan Islami harus
diprioritaskan dan senantiasa ditingkatkan. Tentu harus pula didukung oleh
adanya SDM yang cukup handal dibidangnya, kesan jorok, kotor, miskin, lusuh dan
tampil ala kadarnya yang selama ini melekat dalam tradisi Islam harus
dihilangkan sehingga harus diganti dengan nuansa modern, modif dan serasi
selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar nash.
8. Bank Syariah Ternyata Belum Syariah. Jika diamati hampir
semua bank yang ada, mulai mengembangkan sistem perbankan syariah. Peluang apa
yang akan diraihi, ternyata bank syariah tumbuh subur layaknya seperti jamur di
musim hujan. Namun sayang kenyataam di lapangan, prakteknya tidak dapat
diharapkan lebih untuk memperjuangkan secara final nilai syariah dalam
prakteknya. Masih ada bank berkutat pada sistem kapitalisme, walaupun baju yang
dikenakan baju syariah. Ironis sekali memang, ketika seorang peneliti perbankan
terheran-heran dengan ada mekanisme bank syariah yang anti-krisis, disaat tahun
1998 menjadi kebangkrutan bank-bank konvensional hampir secara nasional.
Setelah dilakukan penelitian dengan seksama ternyata bank syariah yang dimaksud
masih berbau kapitalis, artinya bank hanya memberikan bantuan kepada pemilik
usaha besar saja, sedangkan pemilik usaha menengah ke bawah tidak tersentuh
sama sekali. Keinginan untuk memakai nama syariah tidak dapat dipungkiri
menjadi nilai plus tersendiri untuk meraih nasabah muslim. Produk-produk bank
syariah diperkenalkan dan dikemas sedemikian rupa, sehingga meyakinkan nasabah.
Namun disisi lain para praktisi bank syariah belum menguasai praktik-praktik
syariah dalam lapangan. Terbukti dengan perbandingan beberapa orang yang
mencoba meminjam pada bank syariah tertentu, namun apa yang terjadi ternyata
bunga yang mencapai lebih tinggi dibandingkan dengan bank konvensional. Kasus
itu yang sedikit banyak telah terjadi, dan harus ditindaklanjuti, dalam jangka
panjang harus ada pelatihan tentang produkproduk bank syariah dalam praktek
kesehariannya, atau sekarang yang berkembang adalah masing-masing bank mencari
alternatif pengawas yang terdiri dari kalangan ulama, atau pihak yang telah
menguasai betul produk syariah. Dengan alternatif pengawas ini, proses
transaksi banking telah diawasi oleh seorang ahlinya, sehingga kekeliruan yang
terjadi dilapangan bisa diminimalisir. Konsep tentu akan mengangkat wajah
perekonomian bangsa, artinya memperkuat basis perekonomian bangsa yang selama
ini menganut sistem kapitalis. Dalam jangka panjang akan memberi pengertian
kepada masyarakat, harta bukan lagi kepemilikan pribadi, melainkan kepemilikan
sosial. Dari sisi ini tentu mengangkat kembali perekonomian bangsa dengan
sistem ta'awun, harapannya kaum aghni’a bisa menolong orang-orang
menengah ke bawah (dhuafa) untuk mengangkat taraf ekonominya ke jenjang
yang lebih mapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar